melankoli abadi
Tuesday, October 25, 2005

Sayang, tiba saatnya kuceritakan kisah anak manusia lata, yang sepanjang hidupnya berjuang untuk meraup bahagia, di dunia yang katanya begitu fana.

Anak manusia yang lahir di pesisir, memulai hidup pada fajar pertama. Walau bersilsilah keturunan raja-raja, kenyataan adalah apa yang dihadapi saat ini. Tersadar di saat keruntuhan dinasti keluarga, mulai pudarnya puji-puja. Berbanding lurus nasibnya pada cinta, tahta dan harta.

Manusia kecil coba mengerti dimana posisinya dalam keluarga, yang telah ada pada kesadaran pertama. Tawa-tangis pertama. Kebingungan pertama. Pemahaman pertama.

Tumbuh di saat yang tak tepat, kesulitan materi mulai memaknai arti hidup yang berat.

Di saat yang sama, anak manusia tak lepas dari fitrahnya. Untuk cinta pertama, sang bocah lugu mencintai samudra. Begitu cintanya ia, dengan terhasut ilustrasi dongeng roman picisan, ia menghayalkan segala. Segala, namun tidak untuk mengarunginya, mengarungi samudra adalah nyali seluas cakrawala. Sementara ia, tumbuh dalam rasa takut dan kecewa, buah didik bunda, tentu saja tidak menjadikan ksatria, yang sewajarnya ditirahkan seorang ayahanda, yang tiada ketika si bocah begitu belia.

Selain tak memiliki sampan untuk berlayar menjemput samudra, keberaniannya setipis kabut senja. Dan yang dapat dilakukannya hanya memandang sejauh yang ia bisa di bibir pantai, walau hatinya histeria menyatakan cintanya yang setinggi angkasa raya. Namun siapa nyana? siapa yang mendengarkan pula? Sampai dilihatnya pelayar-pelayar merebut hati samudra. Sementara sang bocah, tak becus berbuat apa. Hanya menyesali nasibnya. Menyesali takdirnya. Menyesali sikap pengecut yang tak kuasa ia tampik kehadirannya.

Dan ketika hari tidak lagi pagi, ketika matahari mulai meninggi, cinta sang bocah tergantikan pada hijaunya rimba. Yang menggoda, yang membukakan mata, yang menyejukan jiwa. Ia mulai belajar untuk berani, walau tak sejatinya lelaki. Ia jelajahi rimba sebatas energi yang ia punya. Namun rimba tak yakini maksud sang pemuda. Atas sikap yang ia beri, atas perhatian yang ia saji. Sampai saat sang pemuda nyatakan cintanya pada sang rimba, tetap tak didapatnya keyakinan untuk menerima sang pemuda untuk menjadi pelestari dirinya.

Lalu, Sang pemuda kembali dengan rasa kecewa melewati jauh jarak dari rimba menuju pesisir tempat pemuda pertama mengada, masih dengan harapan yang tersisa, dengan keyakinan sampai tiba saatnya sang rimba akan menjadinkannya penjaga. Hingga akhir hayatnya. Tapi kenyataannya, sang rimba mempercayakan hidupnya pada sang singa. Yang sekaligus menggerus harap yang berusaha dijaga sang pemuda, dan menghilangkan arah tujuan juga cita-cita kepada segala entah.

Pada kesadaran yang membuatnya bertahan, atas hidup yang menawarkan banyak pilihan, diantara rasa kecewa, sang pemuda memilih untuk terus menjalani harinya yang terik, karena matahari telah sampai di atas kepala, begitu panas terasa tentu saja. Tersadar hari terus beranjak, sang pemuda lanjutkan langkahnya. Berupaya melupakan rimba hingga menjumpai sabana luas membentang, yang riang, yang membawanya lagi kepada kengan-kenangan. Masa lalu yang tumpang tindih. Antara tawa-tangis, canda-sedan yang menyeruak di memori termuka. Gambar-gambar kanak-kanak yang timbul tenggelam. Lalu berharap sabana menerimanya di sana. Menerimanya bermain dan bersama. Lalu mengikat janji berdua.

Hanya keriaan atau impulsif rasa yang ada, keduanya mengamini reaksi kimia yang terjadi, melegitimasi getar-getar hati. Yang kemudian disadari begitu dini untuk mengucap janji. Karena tentu saja harus saling menjajaki.

Sepekan genap keduanya merasa cukup untuk bersama. Setelahnya, mencoba untuk menekuri keberadaan hati. Kontemplasi. Sampai saat ternyata sang pemuda benar-benar merasa, bahwa cinta itu ternyata ada. Namun tidak bagi sabana, di hatinya hanya pelarian dari rasa kecewa. Tentu saja hal ini membuat pemuda merasa sia-sia, jatuh pada segala entah untuk kesekian kalinya, di waktu yang tak lagi pagi, di siang yang menjelang sore, yang menggantikan terik cahaya menjadi redup surya. Berlarilah ia menerjuni cakrawala. Menghujat semesta.

Di cakrawala ia bertemu senja, yang gelisah menanggung gundah, yang menyeruak samar diantara senyum dan tawa keemasan yang memantul-mantul di dinding cakrawala, bersandar pada semesta. Lalu mereka saling menyapa, saling mengirim sandi, saling mengobati, menambal hati dengan puisi, merangkai hari-hari dengan kata dalam bahasa dan sastra. Ya, senja menyesatkan sang pemuda pada hutan kata, pada lautan huruf-huruf di dunia sastra, yang membawanya kembali ke suatu masa, entah dimana. Dan keduanya larut dalam asmara, terutama si pemuda yang belajar menjadi lelaki dewasa. Tapi ia tak mengerti, benar-benar tak sadari, sifat senja yang sementara, yang warnanya hanya ada di sore hari, kala matahari menepi, yang semburat jingganya kemudian dipersembahkan kepada malam yang membuatnya kelam. Ya, malam mencuri senja dari sang pemuda, setelah senja terbebas dari cengkraman rahwana, ia serahkan dirinya pada malam, lalu bercinta dalam gulita, di kelamnya cakrawala, disaksikan semesta.

Apa yang dirasakan si pemuda tentu saja tidak terwakili dengan kata-kata, pun puisi dan sastra dimana dia tercebur didalamnya. Hanya kesadaran yang membuatnya tegar bertahan. Hanya kesadaran yang membuatnya terjaga dipekatnya gulita. Di awang-awang entah, dirasakannya sesuatu mengada. Kontemplasi sang sufi. Menyadarkannya kepada langit. Yang selalu ada di setiap masa, yang setia menunggu dengan sang waktu. Menemani menjemput cahaya pagi. Di setiap gelap terangnya, di setiap redup cerahnya, sang langit bersedia tetap menerima. Di setiap baik buruknya, di setiap bajik celanya, sang langit berusaha pahami. Mewujud peri yang mengembalikan iman pemuda. Rasa percaya pada segala. Pada cinta yang dibangun. Karena cinta yang terbangun adalah kesadaran buah kasih sayang. Bukan impulsif rasa reaksi kimia, bukan uraian mantra kata bahasa. Cinta yang terbangun adalah cinta yang memberi dan menghormati. Toleransi dan instrospeksi.

Yayaya, tidak kemudian mulia tentu saja, sang pemuda adalah aku, yang tetap hanya manusia biasa, seorang lelaki yang dibekali naluri dan intuisi. Dan engkau, tentu saja tidak immaculata, namun membuat ku nyaman dan sentausa, tidak juwita, namun cukup membuatku berhasrat akan surga. Sekali waktu aku menyakitimu, langitku, tepatnya sering membuatmu kecewa. Karena diantara hati kita yang menjaga rasa. Sekali waktu aku teringat akan samudra, menduga-duga riwayatnya, atau menemukan fatamorgana rimba di dunia nyata atau maya, menerka-nerka raut muka mereka setelah sekian lama, mengira-ngira hati sabana, adakah yang tersisa disana, menikmati senja dengan sembunyi-sembunyi, merindukannya di sore hari, atau yang lainnya, dengan rasa bersalah di dalam sana tentu saja. Sebuah dilema. Ya itu masih ku lakukan entah sampai kapan. Tapi tentu saja semua itu ilusi langitku. Karena semua itu hidup pada masa lalu. Karena kenyataan ku adalah kini. Bersamamu. Dalam cinta kita, yang kita bangun keberadaanya. Dengan sadar. Dengan harapan kita pun tahu bagaimana merawatnya. Hingga kekal. Menjadi masa lalu, kini dan nanti.

Bagaimana? Masihkah kau bersedia menjadi pendampingku? Menjadi langit untuk hidupku? setelah semua ini kuceritakan kepadamu?

posted by wisangkala on 4:59 PM


Comments: Post a Comment