surviving
Friday, October 28, 2005

Gelo! kaga asik banget da-ah, hari-hari terakhir puasa, hari-hari terakhir meninggalkan Surabaya, bodikuh tersusupi virus influenza! Asal jangan plu burung aja. Adooh, hari genee.. ga sopan banget neh pirus, bikin badan gw tumbang tak berdaya, kepala berat, idung tersumbat, mo makan obat, sayang, puasa. Ya udah, seharian ga gitu produktip di kantor, nyelesein nota masuk yang nyisa, print out nota keluar, kopi, kirim. SSP PPh 23 blom kelar lagi, terpaksa besok musti kebut, biar bisa langsung bayar, kan liburan tenang tinggal buat laporan.

Rencananya tadi mo makan di wapo kayun, tapi baru sampe pintu masuk dah dicegat ma emba2nya, katanya penuh ma rombongan, menyebalkan! Padahal minggu sebelumnya orang kantor gw mo buka bersama di sini, katanya ga bisa booking, lha piye tho? Ya udah, gw bete trus cabut (yang mana kemudian gw menyesal: kenapa ga di bungkus aja???) alasan gw kesitu selain fulfill maunya si bunce minta traktir in advance, gw ngincer sayurnya, paling ga d situ ada capcay. Soalnya di sby ini, susye banget dah nyari makanan sehat (baca=yang bersayur) maklum gw berumpun jawa barat, jadi ga bisa jauh dari memamah biak segala jenis dedaunan, hehehe. Apalagi dalam kondisi gawat darurat alias siaga satu geneh, gw paling sadar banget dah ma asupan gizi yang kurang, akibat makan sembarang dan sahur jarang, plus tidur larut malam. Kombinasi sempurna untuk mati muda.

Yo wis, akhirnya gw balik ke kos, tanpa ide mo makan apa, yg ada d kepala gw Cuma tidur secepatnya. Dah sampe kos ga lama adzan terdengar di telinga, lalu berbukalah gw dengan (jangan bilang-bilang ya…) es sirup pembagian parsel, badung emang, nekat kuadrat. Abis gmn bow: aus banget! Sementara 2 termos berisi aer panas belum tersedia di samping kulkas seperti biasanya. Makan 2 biji apel di kulkas yang masih sisa, trus tiga biji kurma. Trus gw sms si agus, maksudnya mo nitip makan bersayur klo dia pulang plus pitamin. Semenatara waktu, untuk berjuang bertahan dari kondisi tubuh yang semakin mengeluh, gw goreng corned dicampur telor… mayan lah, mudah-mudahan bisa melawan virus yg menyusup ditubuh gw. Abis itu gw minum obat dan sekarang mo bobo. Doain cepet sembuh ya…

posted by wisangkala on 7:07 AM


melankoli abadi
Tuesday, October 25, 2005

Sayang, tiba saatnya kuceritakan kisah anak manusia lata, yang sepanjang hidupnya berjuang untuk meraup bahagia, di dunia yang katanya begitu fana.

Anak manusia yang lahir di pesisir, memulai hidup pada fajar pertama. Walau bersilsilah keturunan raja-raja, kenyataan adalah apa yang dihadapi saat ini. Tersadar di saat keruntuhan dinasti keluarga, mulai pudarnya puji-puja. Berbanding lurus nasibnya pada cinta, tahta dan harta.

Manusia kecil coba mengerti dimana posisinya dalam keluarga, yang telah ada pada kesadaran pertama. Tawa-tangis pertama. Kebingungan pertama. Pemahaman pertama.

Tumbuh di saat yang tak tepat, kesulitan materi mulai memaknai arti hidup yang berat.

Di saat yang sama, anak manusia tak lepas dari fitrahnya. Untuk cinta pertama, sang bocah lugu mencintai samudra. Begitu cintanya ia, dengan terhasut ilustrasi dongeng roman picisan, ia menghayalkan segala. Segala, namun tidak untuk mengarunginya, mengarungi samudra adalah nyali seluas cakrawala. Sementara ia, tumbuh dalam rasa takut dan kecewa, buah didik bunda, tentu saja tidak menjadikan ksatria, yang sewajarnya ditirahkan seorang ayahanda, yang tiada ketika si bocah begitu belia.

Selain tak memiliki sampan untuk berlayar menjemput samudra, keberaniannya setipis kabut senja. Dan yang dapat dilakukannya hanya memandang sejauh yang ia bisa di bibir pantai, walau hatinya histeria menyatakan cintanya yang setinggi angkasa raya. Namun siapa nyana? siapa yang mendengarkan pula? Sampai dilihatnya pelayar-pelayar merebut hati samudra. Sementara sang bocah, tak becus berbuat apa. Hanya menyesali nasibnya. Menyesali takdirnya. Menyesali sikap pengecut yang tak kuasa ia tampik kehadirannya.

Dan ketika hari tidak lagi pagi, ketika matahari mulai meninggi, cinta sang bocah tergantikan pada hijaunya rimba. Yang menggoda, yang membukakan mata, yang menyejukan jiwa. Ia mulai belajar untuk berani, walau tak sejatinya lelaki. Ia jelajahi rimba sebatas energi yang ia punya. Namun rimba tak yakini maksud sang pemuda. Atas sikap yang ia beri, atas perhatian yang ia saji. Sampai saat sang pemuda nyatakan cintanya pada sang rimba, tetap tak didapatnya keyakinan untuk menerima sang pemuda untuk menjadi pelestari dirinya.

Lalu, Sang pemuda kembali dengan rasa kecewa melewati jauh jarak dari rimba menuju pesisir tempat pemuda pertama mengada, masih dengan harapan yang tersisa, dengan keyakinan sampai tiba saatnya sang rimba akan menjadinkannya penjaga. Hingga akhir hayatnya. Tapi kenyataannya, sang rimba mempercayakan hidupnya pada sang singa. Yang sekaligus menggerus harap yang berusaha dijaga sang pemuda, dan menghilangkan arah tujuan juga cita-cita kepada segala entah.

Pada kesadaran yang membuatnya bertahan, atas hidup yang menawarkan banyak pilihan, diantara rasa kecewa, sang pemuda memilih untuk terus menjalani harinya yang terik, karena matahari telah sampai di atas kepala, begitu panas terasa tentu saja. Tersadar hari terus beranjak, sang pemuda lanjutkan langkahnya. Berupaya melupakan rimba hingga menjumpai sabana luas membentang, yang riang, yang membawanya lagi kepada kengan-kenangan. Masa lalu yang tumpang tindih. Antara tawa-tangis, canda-sedan yang menyeruak di memori termuka. Gambar-gambar kanak-kanak yang timbul tenggelam. Lalu berharap sabana menerimanya di sana. Menerimanya bermain dan bersama. Lalu mengikat janji berdua.

Hanya keriaan atau impulsif rasa yang ada, keduanya mengamini reaksi kimia yang terjadi, melegitimasi getar-getar hati. Yang kemudian disadari begitu dini untuk mengucap janji. Karena tentu saja harus saling menjajaki.

Sepekan genap keduanya merasa cukup untuk bersama. Setelahnya, mencoba untuk menekuri keberadaan hati. Kontemplasi. Sampai saat ternyata sang pemuda benar-benar merasa, bahwa cinta itu ternyata ada. Namun tidak bagi sabana, di hatinya hanya pelarian dari rasa kecewa. Tentu saja hal ini membuat pemuda merasa sia-sia, jatuh pada segala entah untuk kesekian kalinya, di waktu yang tak lagi pagi, di siang yang menjelang sore, yang menggantikan terik cahaya menjadi redup surya. Berlarilah ia menerjuni cakrawala. Menghujat semesta.

Di cakrawala ia bertemu senja, yang gelisah menanggung gundah, yang menyeruak samar diantara senyum dan tawa keemasan yang memantul-mantul di dinding cakrawala, bersandar pada semesta. Lalu mereka saling menyapa, saling mengirim sandi, saling mengobati, menambal hati dengan puisi, merangkai hari-hari dengan kata dalam bahasa dan sastra. Ya, senja menyesatkan sang pemuda pada hutan kata, pada lautan huruf-huruf di dunia sastra, yang membawanya kembali ke suatu masa, entah dimana. Dan keduanya larut dalam asmara, terutama si pemuda yang belajar menjadi lelaki dewasa. Tapi ia tak mengerti, benar-benar tak sadari, sifat senja yang sementara, yang warnanya hanya ada di sore hari, kala matahari menepi, yang semburat jingganya kemudian dipersembahkan kepada malam yang membuatnya kelam. Ya, malam mencuri senja dari sang pemuda, setelah senja terbebas dari cengkraman rahwana, ia serahkan dirinya pada malam, lalu bercinta dalam gulita, di kelamnya cakrawala, disaksikan semesta.

Apa yang dirasakan si pemuda tentu saja tidak terwakili dengan kata-kata, pun puisi dan sastra dimana dia tercebur didalamnya. Hanya kesadaran yang membuatnya tegar bertahan. Hanya kesadaran yang membuatnya terjaga dipekatnya gulita. Di awang-awang entah, dirasakannya sesuatu mengada. Kontemplasi sang sufi. Menyadarkannya kepada langit. Yang selalu ada di setiap masa, yang setia menunggu dengan sang waktu. Menemani menjemput cahaya pagi. Di setiap gelap terangnya, di setiap redup cerahnya, sang langit bersedia tetap menerima. Di setiap baik buruknya, di setiap bajik celanya, sang langit berusaha pahami. Mewujud peri yang mengembalikan iman pemuda. Rasa percaya pada segala. Pada cinta yang dibangun. Karena cinta yang terbangun adalah kesadaran buah kasih sayang. Bukan impulsif rasa reaksi kimia, bukan uraian mantra kata bahasa. Cinta yang terbangun adalah cinta yang memberi dan menghormati. Toleransi dan instrospeksi.

Yayaya, tidak kemudian mulia tentu saja, sang pemuda adalah aku, yang tetap hanya manusia biasa, seorang lelaki yang dibekali naluri dan intuisi. Dan engkau, tentu saja tidak immaculata, namun membuat ku nyaman dan sentausa, tidak juwita, namun cukup membuatku berhasrat akan surga. Sekali waktu aku menyakitimu, langitku, tepatnya sering membuatmu kecewa. Karena diantara hati kita yang menjaga rasa. Sekali waktu aku teringat akan samudra, menduga-duga riwayatnya, atau menemukan fatamorgana rimba di dunia nyata atau maya, menerka-nerka raut muka mereka setelah sekian lama, mengira-ngira hati sabana, adakah yang tersisa disana, menikmati senja dengan sembunyi-sembunyi, merindukannya di sore hari, atau yang lainnya, dengan rasa bersalah di dalam sana tentu saja. Sebuah dilema. Ya itu masih ku lakukan entah sampai kapan. Tapi tentu saja semua itu ilusi langitku. Karena semua itu hidup pada masa lalu. Karena kenyataan ku adalah kini. Bersamamu. Dalam cinta kita, yang kita bangun keberadaanya. Dengan sadar. Dengan harapan kita pun tahu bagaimana merawatnya. Hingga kekal. Menjadi masa lalu, kini dan nanti.

Bagaimana? Masihkah kau bersedia menjadi pendampingku? Menjadi langit untuk hidupku? setelah semua ini kuceritakan kepadamu?

posted by wisangkala on 4:59 PM


dari milist tetangga
Friday, October 21, 2005

Tips biar gak bete kalo di lift....
patut dicobah ;p

1. Ketika anda hanya berdua dengan orang tak dikenal, colek bahunya!, Kemudian anda pura- pura melihat ke tempat lain..
2. Tekan tombol lift kemudian anda pura-pura kesetrum. Tersenyumlah lalu..... ulangi lagi.
3. Gunakan HP anda untuk telpon ke Psikolog sambil bertanya apakah dia tahu di lantai berapa anda sekarang ?
4. Bawalah kamera dan ambillah gambar semua orang yang ada di dalam lift.
5. Pindahkan meja kerja anda ke dalam lift. Jika ada yang masuk, tanyakan apakah mereka sudah membuat janji ?.
6. Bentangkan papan catur di lantai lift dan ajaklah orang-orang, barangkali ada yang mau main. 7. Letakkan sebuah bungkusan di pojok, jika ada yang masuk, tanyakan apakah mereka mendengar suara tik...tik...tik...
8. Anda pura-pura jadi pramugari! Tunjukkan prosedur keselamatan penerbangan seperti di dalam pesawat terbang.
9. Ketika pintu menutup, beri pengumuman kepada orang-orang. Tenang, jangan panik, nanti pasti terbuka lagi koq!.
10. Pasanglah muka menyeringai kesakitan sambil memegangi kepala anda dan mengumpat: Diam, semuanya diam!.

ps: selamat mencoba...

posted by wisangkala on 5:07 PM


What a dumb! (short term memory lost)
Monday, October 17, 2005

Dah selesai berbuka kita ga ada tujuan laen selain pulang. Si Bunce sempet bilang klo awalnya dia niat mo nginep d tempat gw, tp karena pa Harry ga pulang ke jakarta, dengan pertimbangan dia sebagai pembangun sahur, dan kalo dia nginep ga ada yg bangunan sahurnya pa Harry (+ pa kemas) makanya dia mengurungkan niatnya. Yo wes, no big deal, right? Gw pulang ke kos seorang diri, dengan bayangan di kepala untuk cepet mandi solat trus tidur lelap.

Nah! Pas sampe kos, apa yang terjadi sodara2? Begitu gw mo ambil kunci kamar, dilalah tuh konci ga ada di kantong! Where is it? Gw spekulasi antara ketinggalan di kantor atau jatuh di entah mana. Yo wis, sensor gw langsung intruksi klo gw musti minjem aja kunci serepnya ma mba Rina, penjaga kos. Tapi emang dasar apes, ternyata mba Rinanya ga ono! Ke Malang katanya. Heeeh! So? What I’ve to do then? Pa Wey ngasih alternative nyoba2in konci temen2 yg ada, menurut dia kemungkinan bisa, walau gw sangat pesimis dengan pemikiran dia, tp gw lakuin juga… klo lagi gini mah sgala kemungkinan coba aja kali bleh! Tapi seperti yang lo kira juga, ga bisa lah brow, klo bisa justru gw musti curiga, bisa2 jebol pendaringan digondol temen sendiri klo kita lagi ga ada. Everything’s possible, rite?

So, akhirnya gw telpon ibu kos yang jarak rumahnya lumayan berasa dari kos, sekitar tujuh blok (+hehehe gaya baneer! Emang di boston tong? -Hehe dari pada gw bilang 70 tombak, ntar malah bisa2 ketemu Wiro Sableng) untungnya beliau juga pegang kunci, so gw janjian mo ambil tuh kunci abis beliau selesai taraweh. In while, gw numpang istirahat di kamarnya si Krisna. Rebahanlah gw sambil nonton tipi, sampe ketiduran, sampe sahur! Hehehe. Abis gw emang ngantuk bangget brow. Karena malem sebelumnya gw sedikit insomnia.

Sahurlah gw di deket kos, ma Krisna & Agus. Krisna kasih info klo mba Rina semalem dateng. Seneng dong gw, abis sahur gw bermaksud ke kamarnya mba Rina, tapi ko gelap dan ga ada tanda2 kehidupan. Ya udahlah, karena gw masih ngantuk, yg ada di kepala gmn caranya gw bisa tidur, soal konci diurus besok pagi. Jadilah gw tidur di kasur empuk si Agus, sementara dianya ngerjain tesis di kamar adiknya. Zzzzz

Jam 8 gw bangun, dan sadar klo gw dengan semena2 menggunakan fasilitas orang lain, :D. bangun dari tidur, mandi. Abis mandi ketemu pa Wey, dan dia bilang juga klo mba Rina dah dateng dari Malang semalem. Wuih, betapa senangnya hatiku, hilang panas demam ku, semua karena mba rina oh mba rina… gw bangunin juga deh tuh si mba, minjem kunci serep, dan kembali ke kamar!!! Room sweet room.

Note: gw sempet pasrah pas sampe kantor di hari senin tuh kunci ga ada! tp taunya dah diamanin ma bapa satpam, diduga keras kunci tertinggal setelah gw pake sepatu yang menggunakan jasa sendok sepatu yang jadi gantungan konci kamar gw!!!

posted by wisangkala on 8:27 AM


Sit with a view
Friday, October 14, 2005

Padahal jam kantor di hari jumát cuma sampe jam 15.30, tapi teuteup sebagai penghuni terakhir gw balik jam 5 lewat! Setengah enem tepatnya. Dah jadi jam biologis sih. Kasian juga sih pa satpam yang nunggu, padahal klo semua pegawainya pulang on time, dia bisa cepet sampe rumahnya d Sidoarjo, buka puasa dengan sanak keluarga, betapa senangnya. Tapi, apa ini salah gw? Salah temen2 gw? Salah siapa gw Tanya?* Hehehe. Kan ga cm gw yg pulang jam segitu. Paling engga untuk hari jumát ini, ada beberapa yang masih ngendon d kantor termasuk satu AEM.

Ya udah, dengan sedikit bergegas karena terburu waktu buka puasa yang tinggal beberapa masa, gw matiin komputer sambil make sepatu in the same time (bayangin sendiri deh gmn caranya).

Bawa koran hari ini, printing finger, pamit pa satpam, pencet lift turun, lift kebuka, pencet G for ground, lift turun setelah pintu ketutup, sampe ground floor, ke luar lewat lobi, nyebrang ke delta buat cari bukaan puasa.

Kali ini gw sepakat ma Bunce buka d Solaria lantai dua, bukan yang di pujasera lantai tiga. Btw, ini kali pertama gw makan di Solaria lantai dua, biasanya di atas, lantai tiga (atau empat ya? Hehehe gw ga yakin juga), kalo lagi nunggu jadwal puter film, nomat atau engga, berdua atau beramai2. atau sekedar makan tanpa maksud nunggu jadwal film. Bareng olman + oki, pahala atau yang lainnya, atau cuma berdua Bunce aja.

Di sini, Solaria lantai dua, tampaknya lebih nyaman dari yang di atas, begitu masuk, gw langsung browsing tempat, dapet satu tempat kosong deket jendela. Pojok deket pentry-nya. Gw simpen Koran di situ (maksudnya nge-tek tempat) baru abis itu pesen kakap asem pedas ma aer mineral plus jus alpuket, hehe, ga berlebihan kan? Apalagi klo pertimbangannya semalem gw ga saur. Si bunce pesen steak ma teh anget (emang matching?) karena, seperti biasa, doi slalu sedia gula non fat, hahaha. Biar ga terulang lagi perutnya yang sempet six mounth, hehe pis yo man.

Mayan nyaman untuk pengalaman perdana, ternyata dari sini bisa liat keluar, walau sekedar parkiran dan jalan pemuda yang ramai lancar seperti biasa, juga dari tempat gw duduk bisa mengamati semua pengunjung. Little bit cozy, eh? Yup! Sit with a view.

*lo tau deh dari mana kalimat ini berasal :)

posted by wisangkala on 5:37 PM


unfocus
Monday, October 10, 2005

Pulang kerja. Nyampe jam 7 malem. Buka di Puri Garden ma Oki & Budi. Makan cumi goreng, ayam rica & plencing kangkung! Plus sayur asem. Homy taste, nyam!
Kamar gerah seperti biasa. Pengen mandi: ngantuk. pengen tidur: kringetan.
Pengen tidur karena ngantuk + mandi ngilangin kringet = seger untuk tertidur pulas (:

So so day. hectic as usual at the first day of the week of 1st half of month (paan she???)
Tiket pulang dah dapet, walau harganya tidak tertolong untuk yang lebih ekonomis. Tinggal nukerin bukti pembayaran ma tiket aslinya.

No reasonable price for a thing for now on in this bloody country. Negara omong kosong. Isinya kebanyakan bangsat2 bertopeng anak bangsa!* democrazy agents, capitalist agents, moncong liberalism economy. Goddamn devil! Harga BBM emang sewajarnya naek katanya. Teori omong kosong, basi! put the price right atawa put the right price kan masalah lo pake kacamata apaan. Klo emang pake kacamata kuda sih, yang penting sesuai pesanan, masa depan aman. Peduli gembel masyarakat nangis darah, yang penting perut kenyang, toh bukan masalah. Emang gw pikirin kata sakti manusia yang lemah otak buat mikir.

Apa yang diharepin dari BBM naek selain inflasi di depan idung. Keseimbangan harga? Stabilitas ekonomi, hemat pasokan? Emang efektif? Dodol! Kalo mo nylametin pasokan BBM, beresin aja tuh perusahaan minyaknya! Ga becus? Too complicated? Terlalu bebel buat jadi pinter? Buat berhati besar? Kemana aja selama puluhan taun ngelola sumber alam? Enak dimamah sendiri, tinggal susahnya minta ditanggung rame2! Kuple!

Apa bisanya Cuma jadi makelar, jual sini jual sana. Klo sebates itu, apa gunanya ilmu yang ditekuri setengah mati, sekedar menyandang segala gelar. Being megaloman? How pathetic!

Minyak kita sudah menipis, katanya. Sampe2 kita mesti impor? Ngapain juga impor klo kita masih bisa ekspor? Padat karya, biar ada kerjaan, biar muter roda ekonomi? Berapa bocornya? Yang ketauan aja bikin nampol, yang belum/ga pernah/ga usah ketauan? Logika gw yg salah apa dah pada dibolak-balik logika sih?

Astagfirullah! Kufur gw jadinya. Gw percaya ini rencanaMu ya Allah… the scheme you made, not easily to take. Masalahnya: berdiri dimana gw di saat segalanya jelas? Semoga aku selalu berada di lingkar Mu ya Allah.

Dah ah, jadi nglantur, gw kan pengen tidur. Mandi dulu, abis itu berharap untuk bermimpi yang juga udah susah untuk dapet yang indah. Dengan harga2 yang melambung tinggi, apakah mimpi juga mesti beli? Bang iwan! Lagu mu bertuah. Buatkan aku satu yang indah.


*ahmad dhani, interupsi

posted by wisangkala on 7:21 PM